Senin, 16 Juni 2008

MENGUBAH CARA PANDANG BISNIS

Perilaku manusia berubah-ubah setiap saat, dan ini terjadi sejak manusia pertama (Adam AS) diturunkan kemuka bumi beribu-ribu tahun silam. Perubahan itu sejalan dengan kebutuhan manusia yang menurut Maslow terdapat lima tingkatan (sebagian menyebutkan enam) pemenuhan kebutuhan manusia mulai dari pemenuhan kebutuhan yang paling rendah sampai dengan kebutuhan tertinggi.

Demikian pula kebutuhan-kebutuhan itu juga mengalami perkembangan yang sangat beragam termasuk cara pemenuhan kebutuhannya. Cara-cara pemenuhan kebutuhan ini sebagian besar merupakan suatu perilaku yang merupakan hasil temuan awal dan diturunkan kepada anak dan cucu atau lingkungan kerabat dekat mereka. Cara pemenuhan ini juga berawal dari proses pencarian dan adaptasi, oleh karenanya cara-cara pemenuhan kebutuhan selalu berubah dan berkembang setiap saat.

Customer oriented adalah strategi marketing yang berbasis kepada pelanggan. Perusahaan membuat dan menyalurkan produk didasarkan atas apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh pelanggan. Dalam perkembangan bisnis dengan ketatnya persaingan, justru perusahaan membuat (create) dan merangsang (supply) sebuah kebutuhan baru melalui pengimajinasian kebutuhan dengan alasan gaya hidup baru (trend) kepada pasar. Ini dapat kita lihat pada peragaan busana, pola ini menunjukkan bahwa konsumen dirangsang untuk membeli gaun berbahan dedaunan sekedar untuk mengekpresikan diri mereka dalam sebuah gaya hidup yang baru. Membeli gaun adalah memenuhi kebutuhan fisik yaitu sandang (penutup badan), namun produk yang diciptakan dapat memenuhi beberapa sifat kebutuhan lainnya seperti cinta, rasa aman, apresiasi diri, dan penghargaan.

Kesimpulannya bahwa konsumen atau pelanggan dapat didorong ke dalam suatu perubahan perilaku dan pandangan tertentu untuk membantuk suatu perilaku pembelian atau pemenuhan kebutuhan bahkan menjadikan mereka sebagai animal yang haus akan segalanya ketika mereka memiliki kemampuan membeli yang sangat tinggi. Terakhir adalah dengan memasukkan nilai-nilai dalam keputusan pembelian, dimana konsumen sadar bahwa mereka bukan-lah animal tetapi human yang menuntut kehidupan beraturan, tenggang rasa dan penuh toleransi.

Lingkungan bagian dari nilai-nilai kehidupan, lingkungan disini adalah dalam arti phisik bukan kiasan. Lingkungan berkaitan dengan kondisi asri, sehat dan aman atau juga masalah lingkungan karena ada hal-hal yang menyebabkan ketiganya tidak dapat dicapai seperti polusi, pemanasan global, kerusakan lingkungan, sampah krisis energi dan lain-lain. Kerusakan lingkungan dapat diakibatkan oleh dua faktor penyebab yaitu: faktor alamiah dan faktor kejahatan manusia terhadap lingkungan. karena manusia adalah sentra kehidupan alam semesta, maka bisa jadi kerusakan secara alamiah juga dipicu oleh ulah manusia.

Bisnis memainkan peran penting bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Jika kita ingin tetap dapat menikmati kehidupan saat ini (minimal), maka pola pandang bisnis harus berubah, dan seharusnya perubahan itu dimulai dari para pengelola bisnis dan para pemrakarsa bisnis. Mereka harus memulai mengubah pola pandang penciptaan produk dan penyuplaian produk pada aktifitas produksi dan operasional perusahaan. Mereka juga harus mulai mendorong perubahan pada pola pikir konsumen, yaitu pola pikir berbasis lingkungan.

Tanpa itu, dan tanpa perubahan pada pola pandang bisnis, maka kita akan mengsangsikan apakah nanti kita masih bisa menghirup udara dengan segar, atau membiarkan anak-anak kita aman bercanda ria dengan alam. Dan tanpa peran besar dunia usaha, maka era bisnis berbasis lingkungan akan sulit diwujudkan.

Minggu, 08 Juni 2008

Membangun ERA ORIENTASI LINGKUNGAN

Entah dari mana harus mulai, sama seperti membenahi benang kusut. Lingkungan yang kita tinggali saat ini juga seperti benang kusut yang harus segera dibenahi, jika tidak, akan tambah kusut. Pertanyaan yang hinggap dalam benak kita adalah dari mana kita harus mulai dan bagaimana memulainya.

Pemikiran saya tentang pentingnya kita membangun suatu era adalah untuk memberikan sebuah penekanan perubahan pola pikir masyarakat dan industri. Karena, kedua-duanya adalah penyumbang terbesar atas menurunnya kualitas lingkungan. Oleh karenanya, masyarakat dan industri harus melakukan tindakan yang significant terhadap berbagai upaya perbaikan kualitas lingkungan.

Era orientasi lingkungan adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh perusahaan, institusi, organisasi dan perorangan untuk memenuhi kebutuhan konsumen dengan dikembangkannya produk-produk berbasis lingkungan sejalan dengan perubahan pandangan masyarakat tentang cara pemenuhan kebutuhan yang lebih baik.

Pembuat dan pemakai merupakan bagian dari produktifitas yang tidak dapat dipisahkan, karena berhubungan dengan nilai ekonomis, efesiensi, efektifitas dan profitabilitas. Ini yang merupakan inti masalah mengapa industri tidak pernah mau belajar atas kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan terhadap lingkungan.

Kita semua yang peduli dengan masa depan kita akan selalu mengelus dada mendengar kejadian-kejadian perusakan dan atau proses penurunan kualitas lingkungan. Apa yang bisa kita lakukan, sementara kita tinggal begitu jauh dari lokasi kejadian, dan kita sadar bahwa kejadian itu bila dibiarkan justru akan mengancam kita dikemudian hari. Semua masalah lingkungan, mulai dari terancamnya habitat orang utan, lubang galian bekas penambangan, sampai dengan pencemaran air di sungai adalah masalah yang selalu hadir setiap saat. Kapan semua itu berhenti, adakah obat paling manjur untuk menyelesaikannya.

Ada dua tindakan yang segera kita lakukan yaitu; 1) Berhenti melakukan perusakan dan 2) Memperbaiki kerusakan. Tentu harus ada orang-orang yang memegang peranan penting disini, siapa yang menjadi pengawas, pembina, pelaku, pembantu, dan peserta. Dimanakah tempat Anda?

Menurut Weldegrave, W (1987), bahwa “Peran pemerintahlah yang menentukan standar dan perioritas. Dan, Industrilah yang mengembangkan teknologi untuk memenuhi serta meningkatkan standar ini. Dialog tidak perlu berlangsung terus, lingkungan tidak mendapatkan keuntungan apapun dari seruan penghentian semua polusi di semua tempat dengan segera ‘agar tidak terjadi sesuatu.’ Tetapi, industri juga perlu menyerukan tanda bahaya terlalu keras dan terlalu sering.” (Dalam Canon, 1995:215).

Sayangnya, semua orang bicara tentang lingkungan hanya berkutat pada mereka yang peduli pada lingkungan. Tidak pernah berpikir untuk melibatkan pelaku dalam penyelesaian berbagai kasus. Setiap perusahaan yang baru tumbuh atau ekspansi ke wilayah baru, seharusnya telah mempelajari dengan seksama bukan saja faktor-faktor ekonomi sebagai syarat utama mendirikan perusahaan, tetapi kemampuan mereka dalam mengatasi pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh operasional mereka.

Apakah dunia yang aman adalah kado terbaik untuk anak cucu kita yang paling mahal dan tak terbeli oleh kita?

Banyak sekali perusahaan yang produksi sebuah barang dengan memberikan pertimbangan secara matang atas akibat akhir dari penggunaan produk mereka oleh konsumen terhadap penurunan kualitas lingkungan. contohnya dalam penggunaan kemasan pada produk yang selalu diikuti oleh plastik, dapatkah mereka mencari alternatif packaging lain yang lebih baik, tidak saja memikirkan tampilan belaka. Atau bahan kimia lain yang dapat mencemari air, dapatkah mereka berpikir jauh sampai kesana?

Mungkin kesadaran mereka akan pentingnya kualitas lingkungan tidak cukup baik dan semuanya dapat dikalahkan oleh kepentingan ekonomi (pendapatan dan keuntungan). Dalam era bisnis berbasis lingkungan, bahwa seharusnya perusahaan lah yang menjadi agent of environment, karena mereka memiliki kekuatan financial yang memadai untuk melakukan banyak hal seperti; penelitian dan program-program kampanye penyadartahuan dan aktifitas perbaikan lingkungan lainnya.

Kesadaran adalah yang penting dalam membangun era bisnis berbasis lingkungan, dan peran setiap orang tanpa melihat latar belakang. Kemudian bagaimana membangun era ini? Harus ada usaha yang konkrit, setiap orang harus menjadi environment services dan sekaligus sebagai pelopor, sehingga ketakutan akan ancaman lingkungan terhadap kehidupan kita dikemudian hari dapat teratasi. Dan hal ini harus dilakukan dari sekarang juga.

Sabtu, 07 Juni 2008

ANTARA PEGAWAI NEGERI DAN LINGKUNGAN

Ketika pertama kali konsep otonomi daerah ini ditujukan untuk mempercepat pembangunan di daerah, karena pada saat pemerintahan Soeharto (Alm.) terjadi ketimpangan dalam pembangunan di daerah dengan di pusat. Daerah yang kaya akan sumber daya alam ternyata hanya daerah miskin yang hidup segan mati pun tak mau. Otonomi Daerah telah memberikan nafas bagi tiap-tiap daerah tingkat dua dalam berbenah diri dan mulai membangun daerahnya masing-masing termasuk diantaranya berjuang untuk memperoleh pendapatan yang besar dari kekayaan alam yang dimiliki daerahnya.

Lucunya dalam sebuah pembicaraan di warung kopi, seseorang mulai membandingkan profil pegawai negeri di daerah dengan pegawai swasta। Sebut saja Andi, ia mengatakan bahwa pegawai negeri itu adalah orang-orang buangan, tidak produktif, tidak memiliki kemampuan berkembang dan berkompetisi serta tidak professional. Kemudian pernyataan Andi itu disela oleh Rahmat yang juga adalah seorang pensiunan pegawai negeri, ia mengatakan dengan bangganya “itulah yang membedakan antara manajemen bisnis dengan manajemen pemerintahan” kesimpulannya adalah manajemen pemerintahan itu misinya adalah membiarkan pegawainya tidak produktif, tidak mampu berkembang, tidak mampu berkompetisi dan tidak membutuhkan professional, yang penting adalah diri sendiri?

Jika seorang anak ditanya kenapa kamu mau jadi pegawai negeri? Jawabannya adalah “Supaya bisa punya rumah gede, punya mobil karena punya jabatan” kemudian jika tidak bisa jadi pejabat maka jawabnya “yah, minimal masuk kerja baca Koran, kemudian mampir ke kantin, kalau ada bos pura-pura ngetik atau nulis, dan sudah tua dapat pensiun tiap bulan”

Wajar saja kalau Negara kita hidup morat-marit। Masa sih membangun Negara sebesar ini 50 tahun nggak beres-beres. Wajar saja kalau ide dan gagasan perbaikan lingkungan pada secarik kertas dari masyarakat kandas di kantin kantor kemudian hilang entah kemana. Wajar saja, kita nggak pernah bisa menyelesaikan kasus illegal lodging. Setiap kasus lingkungan bagaikan panas-panas tahi ayam.

Pemerintah daerah kota/kabupaten bertengkar dengan pemerintah propinsi hanya gara-gara pengelolaan tambang menjadi hak siapa. Mereka tidak pernah bertengkar masalah kenapa lingkungan menjadi rusak dan siapa yang harus memperbaikinya. Mungkin motif ekonomi adalah urusan nomor satu dalam Negara kita, dan masa depan nomor sekian.

Padahal pegawai negeri adalah harapan kita satu-satunya membangun negeri yang maju dan berwawasan lingkungan। Pegawai pemerintah seperti ini warisan siapa? Soekarno kah? Suharto kah? Gusdur kah? Megawati kah? Atau SBY-JK?

Menurut Weldegrave, W (1987), bahwa “Peran pemerintahlah yang menentukan standar dan perioritas। Dan, Industrilah yang mengembangkan teknologi untuk memenuhi serta meningkkan standar ini. Dialog tidak perlu berlangsung terus, lingkungan tidak mendapatkan keuntungan apapun dari seruan penghentian semua polusi di semua tempat dengan segera ‘agar tidak terjadi sesuatu.’ Tetapi, industri juga perlu menyerukan tanda bahaya terlalu keras dan terlalu sering.” (Dalam Canon, 1995:215).

Karena pemerintah kita tidak bisa di andal kan, maka perlu dari kita semua untuk melakukan sesuatu yang serius untuk memperbaiki kerusakan lingkungan। Kalangan LSM perlu terus mengedukasi masyarakat untuk melakukan aksi boikot terhadap produk-produk yang mengancam lingkungan dan mendidik mereka untuk melakukan sesuatu perilaku berbasis lingkungan. Para manajemen membuka mata dan pikiran mereka untuk memperbaharui produk-produk mereka serta cara-cara mereka mengelola sumber daya alam dengan baik dan aman bagi lingkungan disekitarnya.

Kalangan LSM perlu terus mengedukasi masyarakat untuk melakukan aksi boikot terhadap produk-produk yang mengancam lingkungan dan mendidik mereka untuk melakukan sesuatu perilaku berbasis lingkungan. Para manajemen membuka mata dan pikiran mereka untuk memperbaharui produk-produk mereka serta cara-cara mereka mengelola sumber daya alam dengan baik dan aman bagi lingkungan disekitarnya. Karena kita tidak mungkin berharap banyak dengan pemerintah menjadi agent of environment, jadi mesti kita lah yang menjadi agent-agent itu. Jika ini terjadi, maka era bisnis berbasis lingkungan dapat terwujud.

Jumat, 09 Mei 2008

3 TAHUN UNTUK MENSIASATI LINGKUNGAN

Saya bukan orang yang anti bisnis, kadang-kadang saya bermain monopoli di rumah bersama keluarga. Saya juga bekerja di perusahaan (swasta), jadi saya pikir tidak ada yang salah dengan bisnis. Dan, saya juga sedih melihat kawasan hutan lindung menjadi porak poranda, komunitas orang hutan terjepit, gajah lampung mati diburu masyarakat, hutan bakau berubah jadi syahbandar atau bandara, sumur masyarakat kering karena hutan mereka hilang, dan sekarang tentang pemanasan global, sampai-sampai saya bingung sendiri, kapan musim hujan dan kapan musim kemarau, karena sudah hampir satu tahun walau siangnya terang tiba-tiba hujan.

Masalah lingkungan yang kita hadapi saat ini hampir ribuan jumlahnya dan tak ada penyelesaian yang memuaskan bagi banyak orang. Tapi saya juga senang dengan penemuan teknologi ramah lingkungan dan gaya baru yang dianut (green lifestyle) oleh anak muda sekarang, walau kelihatan masih polos.

Saya coba bercermin ke diri sendiri, bagaimana jika saya diberi tambahan umur 70 tahun lagi. Mungkin lingkungan yang saya diami saat ini tidak akan sama lagi. Mungkin saja saya terserang penyakit kanker kulit karena polusi udara, mungkin ada saudara saya yang mati karena keracunan dari air yang dikonsumsinya. Semua yang ada di sekitar saya justru mengancam jiwa saya dan orang-orang yang saya cintai.

Mungkin juga perusahaan-perusahaan besar yang saya kenal sekarang sudah tidak terdengar lagi karena tidak mampu menahan biaya produktifitas yang tinggi sebagai akibat mahalnya sumber daya alam. Yang saya takutkan adalah, bagaimana jika Indonesia yang hijau dan subur ini menjadi gurun sahara yang panas dan kosong tanpa tetumbuhan.

70 tahun, bukankah waktu yang cukup bagi kita untuk memulai sesuatu agar bayangan/mimpi buruk itu tidak akan terjadi. 70 Tahun juga waktu yang cukup untuk melakukan berbagai macam penelitian, serta merubah perilaku kita.

3 tahun dari 70 tahun adalah waktu yang tepat untuk mengubah prinsip hidup Anda yang positif bagi lingkungan.

3 tahun dari 70 tahun adalah waktu yang tepat untuk menyusun budaya perusahaan dan strategi perusahaan masa depan.

3 tahun dari 70 tahun adalah waktu yang tepat untuk memulai penelitian yang akan menghasilkan produk inovatif, canggih dan berbasis lingkungan.

3 tahun dari 70 tahun adalah waktu yang tepat untuk mulai mencintai lingkungan dan berbuat sesuatu untuk lingkungan.


3 tahun dari 70 tahun adalah waktu yang tepat untuk menyusun kurikulum pendidikan lingkungan dan dasar-dasar teknologi berbasis lingkungan.

3 tahun dari 70 tahun adalah waktu yang tepat untuk menyusun peraturan dan kebijakan mengenai produktifitas berbasis lingkungan.

3 tahun dari 70 tahun
adalah waktu yang tepat untuk memulai era bisnis berbasis lingkungan.

Dan akhirnya, 70 tahun kemudian kita akan tidur tenang karena mimpi buruk itu bisa dihindari, karena selama 70 tahun saya akan terus memberikan semangat kepada Anda untuk memulai era bisnis berbasis lingkungan.

Senin, 28 April 2008

Era Orientasi Lingkungan: Corporate Social Responsibility dan Lingkungan

Era Orientasi Lingkungan: Corporate Social Responsibility dan Lingkungan

MENGUBAH PERILAKU BERAWAL DARI KELUARGA

Hal yang sangat melekat dalam ingatan saya, Rasulullah (Nabi Muhammad SAW) pernah mengajarkan kepada kita yang isinya kira-kira begini …dakwah itu dimulai dari lingkungan yang paling kecil, yaitu keluarga. Mengubah perilaku dari yang negatif ke positif juga bagian dari da’wah, saya tentu kepingin keluarga saya memiliki prinsip-prinsip hidup yang positif, termasuk hal positif mengenai perilaku saya dan anggota keluarga dalam masalah lingkungan.
Terkait dengan masalah lingkungan itu bukan kita peduli kepada lingkungan, tetapi kita peduli kepada diri kita. Peduli pada lingkungan itu berarti lingkungan itu bukan bagian dari diri kita, kita peduli pada lingkungan karena kondisinya yang krisis, kita iba dengan keadaannya, ini terlalu lemah. Sebaliknya, jika kita peduli dengan diri kita “ I Care Myself” menunjukkan perasaan yang kuat, kita melihat rusaknya lingkungan sekitar menunjukkan rusaknya diri kita, terancamnya masa depan kita – Jika “I Care Myself” maka kita akan merubah perilaku hidup.
Istri saya bercerita tentang acara Oprah yang ditontonnya mengenai pengabdian sebuah kehidupan dari seekor beruang kutub yang menggali kuburannya karena tidak menemukan Es akibat efek pemanasan global. Ini merupakan kisah tragis, mungkinkah kita juga akan melakukan hal yang sama yaitu menggali tumpukan sampah untuk kuburan kita sendiri karena tidak ada lagi tempat yang tersisa tanpa sampah?
Istri saya berencana untuk memulai kebiasaan baru, yaitu: 1) membawa tas kain saat ke Supermarket sebagai tempat untuk barang-barang yang dibeli, sehingga istri saya tidak memerlukan kantong plastik. 2) istri saya akan menggantikan kerajang sampah yang terbuat dari plastik dan menggantikannya dengan ember plastik sisa cat, untuk mengganti penggunaan kantong plastik. 3) istri saya mulai memilih produk deterjen yang ramah lingkungan (menggunakan biodetergen) beberapa diterjen yang saya ketahui menggunakan biodeterjen antara lain adalah Surf (Unilever), Rinso (Unilever) dan Attack (Kao). Masing-masing menyebutkan bahan aktif saat dikemas adalah sebagai berikut; Rinso 58%, Surf 40%, dan Attack 30%. Saya tidak mengerti dengan angka-angka ini, apakah Attack lebih baik dari Rinso atau sebaliknya? Jika pada rokok kita dapat melihat perbedaan kualitasnya dari berapa banyak Tar yang ada pada masing-masing rokok, semakin rendah Tar-nya maka semakin kecil daya merusak pada kesehatan.
Perlu banyak bantuan dari media massa untuk menjelaskan hal ini, jika memang Attack lebih baik dari Rinso, maka Unilever harus mengembangkan teknologi produknya agar lebih rendah dari Attack, atau sebaliknya jika bahan aktif yang dikemas itu seharusnya yang lebih tinggi adalah yang terbaik bagi lingkungan, maka Attack harus berjuang keras untuk mengungguli Rinso.
Saya sendiri menyukai minuman ringan (softdrink), ada yang berubah dari saya, kini saya tidak lagi membeli coca cola atau minuman isotonic lainnya dalam kemasan kaleng, maksud saya sih untuk mengurungi sampah kaleng. Seandainya Coca cola company mau membeli kaleng coca cola seharga 200 rupiah, tentu saya akan mengumpulkan kaleng kemasan coca cola untuk diberikan kepada coca cola bukan karena Rp. 200,- nya tapi karena upaya pengendalian limbah kalengnya.
Apakah anda memiliki perilaku baru yang positif untuk lingkungan, mohon komentarnya, terima kasih

Kamis, 24 April 2008

Corporate Social Responsibility dan Lingkungan

Bisnis adalah bagian dari sosial, karena bisnis melakukan hubungan-hubungan yang berarti (significant) dengan komunitas. Oleh karenanya, kita dapat melihat adanya hubungan pengaruh memengaruhi diantara keduanya. Saat ini, para manajer menyadari bahwa usaha yang mereka lakukan merupakan bagian dari aktifitas sosial, oleh karenanya di satu sisi perusahaan sangat bergantung pada kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Bisnis mereka bergantung pada prinsip dan keyakinan masyarakat sebagai penyuplai faktor-faktor produksi yang dibutuhkan dan sebagai calon pengguna dari barang-barang yang mereka produksi.

Program Corporate Social Responsibility (CSR) adalah upaya-upaya pendekatan yang dilakukan kepada masyarakat untuk memperkuat citra perusahaan di mata publik. Seperti dikatakan oleh Davis & Blomstrom bahwa “Another argument is that social responsibility improves the public image of business” (1975;25).

Tujuan bisnis mereka adalah untuk meningkatkan kualitas hidup bagi karyawan yang bekerja pada mereka. Melalui berbagai saluran media yang ada, mereka berusaha menginformasikan kepada konsumen bahwa produk mereka itu diciptakan untuk membantu konsumen meraih apa yang mereka inginkan (consumer expectation).

Tanggung jawab sosial perusahaan, kini tidak saja dihubungkan dengan masalah peningkatan kualitas sumber daya seperti tenaga kerja, atau sebuah upaya-upaya pemberdayaan masyarakat setempat (community), tetapi juga bagaimana meningkatkan kualitas lingkungan yang ada di sekitar mereka. Masyarakat menganggap bahwa peran serta perusahaan dalam memperbaiki kualitas hidup mereka dan lingkungan menunjukkan bahwa perusahaan itu juga bagian dari kehidupan komunitas mereka. Di Negara kita, masih banyak perusahaan yang dibangun di areal pemukiman penduduk namun tidak memiliki hubungan yang baik dengan masyarakat setempat. Sebagian besar dari mereka berpikir bahwa mereka tidak memiliki kepentingan dengan masyarakat sekitar sehingga tidak perlu melakukan kegiatan-kegiatan penting bagi masyarakat setempat. Akibatnya kini banyak dari perusahaan itu menghadapi masalah yang pelik dengan masyarakat sekitar, karena aktifitas produksi mereka itu telah mencemari lingkungan (udara, air dan tanah) termasuk polusi yang diakibatkan oleh kebisingan–suara mesin pabrik atau keluar masuk kendaraan proyek.

Bisnis memiliki peran yang luas dalam masyarakat. Oleh karena perusahaan tinggal dan hidup di sekitar masyarakat, menggunakan sumber daya yang ada di sekitar mereka dan memasarkan produk mereka ke seluruh dunia. Banyak perusahaan Amerika dan Eropa yang membuka pabrik di Indonesia karena tergiur oleh biaya tenaga kerja yang murah dan sumber daya lokal yang memadai. Di satu sisi keberadaan mereka diterima oleh masyarakat karena memberikan manfaat yaitu memperoleh sumber penghasilan baru, alih teknologi, dan pemanfaatan sumber daya alam setempat. Demikian pula pemerintah mendapat keuntungan dari pajak, restribusi dan pungutan tak resmi lainnya yang mereka keluarkan. Sedangkan di sisi lain, aktifitas mereka telah mencemarkan lingkungan termasuk limbah beracun yang mereka hasilkan.

“Indonesia belum mempunyai konsep tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan dunia usaha atau CSR, akibatnya pelaksanaan CSR diwujudkan sesuai dengan penafsiran setiap pemangku kepentingan (stakeholder) dalam bentuk seperti donasi, penyediaan beasiswa dan program pembangunan masyarakat” (Kompas, 26 Februari 2008). Menurut pendapat saya, sebenarnya CSR itu sifatnya harus bebas dan tidak ditentukan berapa besar perusahaan harus menyubang sekian persen dari keuntungan atau pendapatan yang kemudian diserahkan kepada pemerintah dan digunakan untuk memperbaiki kota atau daerah. Ini adalah cara yang kurang tepat, karena pemerintah daerah sebenarnya telah memperoleh apa yang menjadi haknya yaitu dari pungutan pajak dan retribusi. Dan, tugas pemerintah adalah menggunakan hasil pungutan pajak dan retribusi itu untuk membangun infrastruktur, fasilitas dan program-program yang dapat memberikan manfaat serta meningkatkan kesejahteraan bagi warganya.

Kaitannya dengan CSR, tugas pemerintah daerah dalam hal ini adalah bertugas mendorong dan mengawasi pelaksanaan program CSR masing-masing perusahaan. Sangat tidak tepat jika pemerintah menekan perusahaan-perusahaan untuk memberikan sumbangan pembangunan di Daerahnya. Seperti yang diberitakan oleh Kompas bulan Februari 2008, bahwa kepala Dinas Pendidikan di Kota Jakarta akan meminta perusahaan-perusahaan yang ada di wilayahnya untuk menyerahkan dana CSR dengan tujuan memperbaiki sekolah-sekolah, apakah pemikiran itu bisa diterima secara normatif? Jika yang dimaksud adalah melakukan aktifitas penggalangan dana untuk perbaikan sekolah dengan mengundang para pemimpin perusahaan, mungkin itu wajar dilakukan, karena Corporate Social Responsibility itu sifatnya sukarela, dan biarkan masyarakat yang menentukan apakah kegiatan-kegiatan CSR dapat meningkatkan hubungan baik diantara keduanya, yang terpenting CSR itu harus muncul dari institusi/perusahaan sebagai bentuk itikad baik. Jika kegiatan CSR itu dipaksakan atau bahkan ditentukan justru itu adalah sebuah perlakuan yang tidak normatif.

A favorable image is also important in a firm’s money market” (Davis & Blomstroms, 1975:26), jika kita merujuk pada pernyataan Davis dan Blomstroms itu, tentu alasan kuat bagi perusahaan dalam menjalankan program CSR tidak lain adalah untuk memeroleh citra yang positif dari masyarakat dan citra positif itu ada hubungannya dengan penguatan loyalitas pelanggan serta upaya perluasan sasaran pasar. Permasalahannya adalah sejauhmana konsumen dapat memahami tindakan yang dilakukan oleh perusahaan itu berkaitan dengan CSR. Sejauhmana pemahaman masyarakat tentang CSR, dan bagaimana mereka dapat memisahkan antara CSR dengan tanggungjawab terhadap Lingkungan.

Dengan melihat kondisi lingkungan sekarang dan pemahaman kita tentang CSR, saya masih meragukan apakah masalah lingkungan merupakan bagian dari program Corporate Social Responsibility? Argumentasi saya bahwa program lingkungan itu bukan bagian dari program CSR, karena program lingkungan itu sifatnya wajib untuk dilakukan, sama halnya dengan kewajiban mereka membayar pajak dan retribusi, sedangkan CSR tidak dapat dipaksakan. Masalah lingkungan harus dibayar dengan seberapa besar kerusakan lingkungan yang telah dilakukan perusahaan dengan mengembalikan kepada keadaan semula atau dengan kualitas yang hampir sama. Mungkin wilayah ini patut untuk diperdebatkan.

Kini, kita melihat begitu banyak interaksi-interaksi antara perusahaan dengan masyarakat dalam berbagai bentuk yang menguntungkan keduanya, sebut saja dengan yang dilakukan oleh Newmont di Nusa Tenggara Timur melalui aksi penanaman pohon, pembangunan sumber persediaan air bersih dan program lingkungan lainnya. Ini menunjukkan bahwa perusahaan telah merasa dirinya bagian dari masyarakat.

Bisnis juga mempunyai kehidupan bermasyarakat dan ikut menanggung beban atas apa yang dialami oleh masyarakat saat ini dan masa depan. Melalui program CSR beban masyarakat sedikitnya dapat terbantu. Perusahaan yang melakukan perbaikan fasilitas sekolah itu telah membantu murid-murid di sana belajar lebih baik dengan situasi serta peralatan belajar yang lebih berkualitas tentunya akan mendorong semangat belajar mengajar menjadi lebih baik. Seperti yang saya yakini bahwa salah satu kejenuhan dari para siswa belajar di sekolah itu dikarenakan oleh fasilitas yang tidak memadai, sehingga beberapa diantara mereka (siswa) terhalang untuk memenuhi penyaluran bakat mereka. Tidak semua siswa yang lulus dari SMA/SMP akan menjadi ahli fisika, matematika, biologi, atau ahli ekonomi dan lainnya, karena menjadi seorang seniman atau olah ragawan juga dapat membantu mereka mencapai kehidupan yang lebih baik.

Begitu juga program pembangunan sarana air bersih dan sanitasi yang diperuntukkan bagi masyarakat yang tinggal di lokasi sekitar perusahaan juga merupakan peran perusahaan dalam mengurangi beban masyarakat memperoleh air yang layak dikonsumsi. Untuk hasil perjuangan yang telah dilakukan perusahaan dalam program CSR itu sangat patut jika upaya-upaya itu dipromosikan kepada masyarakat luas. Perusahaan membutuhkan tidak saja sekedar pujian dan terima kasih dari apa yang telah mereka lakukan pada masyarkat itu, tetapi perusahaan itu juga berhak menjadikan upaya-upaya yang dilakukannya sebagai momen yang tepat untuk menarik perhatian sasaran pasar di seluruh dunia dan menaruh kepercayaan serta sikap positif bagi produk-produknya.

Kesimpulan:
Kita perlu sama-sama sepakat bahwa Program perbaikan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan bukan bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR), tetapi suatu kewajiban yang harus dilakukan, perusahaan akan mengeluarkan beban biaya yang besar itu sebesar kerusakan lingkungan yang mereka hasilkan.

Bagaimana pendapat Anda?