Rabu, 23 April 2008

Kebajikan dalam Bisnis (the Virtue in Business)

Kebajikan dalam Bisnis

Paul Hawken dalam bukunya The Ecology of Commerce A Declaration of Sustainability mengatakan bahwa setiap tindakan komersial, setiap persetujuan atau transaksi bisnis, membantu merusak lingkungan, dan Hawken percaya bahwa kita harus berpikir mengenai bisnis dengan cara yang berbeda. Dia berpikir bahwa tindakan bisnis setiap hari harus dibuat untuk membantu melestarikan lingkungan, tetapi ini tidak terjadi bersamaan dengan pemikiran ekonomi yang kita miliki saat ini. (dalam Stoner, Freeman & Gilbert, 1995:103).

Kebajikan dalam bisnis (the virtue in business), terlepas dari tujuan utama bisnis untuk mencapai laba maksimal bagi organisasinya, sebuah perusahaan perlu mengembangkan sebuah misi kepedulian terhadap lingkungan. Organisasi harus sangat hati-hati mengembangkan sebuah produk yang mampu memberikan kebajikan-kebajikan terhadap lingkungan dengan mencari alternatif teknologi dalam menciptakan kemasan produk yang ramah lingkungan, penghematan energi, dan menciptakan produk yang dapat di daur ulang semaksimal mungkin. Cara-cara ini yang saya maksud dengan kebajikan dalam bisnis.

Seperti dikatakan oleh Straub & Attner (1994) yang menyebutkan ada beberapa kecenderungan dan peluang bagi usaha yaitu melakukan perlindungan bagi lingkungan (Environment Protection), mereka mengatakan “the public’s concern for protecting and preserving the environment is now a major business issue. The company will have to make environmental considerations a part of strategic decision making – not because it is a law or some group wants it, but becauste it is the right thing to do.” (1994:22).

Menarik sekali apabila muncul pertanyaan bagaimana sebuah pasar itu didorong oleh upaya-upaya pemasaran menjadi sesuatu yang heterogenitas, begitu pula tentang naik-turunnya peemintaan dalam pasar telah menyebabkan sesuatu industri mengalami atau melewati siklus sejarah pertumbuhan (growth), kedewasaan (maturity), dan kemunduran (decay) dan kematian (death). Sebelumnya industri didorong untuk melakukan produksi sebanyak mungkin yang mereka dapat lakukan, sehingga kondisi ini menggambarkan perusahaan itu dikategorikan sebagai perusahaan yang berfokus pada produk atau istilahnya beroirentasi pada produk (Product Oriented).

Sejak Levitt menyodorkan konsep Marketing Myopia (rabun dekat pemasaran) pada tahun 1960, telah mengubah kosep dan pemikiran manajemen tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk menghindari myopia itu. Perusahaan berlomba-lomba melakukan riset kepada konsumen dan pelanggan mereka, alhasil mereka menikmati sejumlah keuntungan baru, yaitu selamat dari persaingan pasar yang sangat ketat.

Para perusahaan yang berbasis pada konsumen kini menikmati hasil yang menggembirakan, produk mereka selalu dekat dengan pelanggan, mereka menempati posisi yang nyaman dalam pasar. Dan, mereka selalu melakukan riset dengan pelanggan serta mereka melakukan innovasi pada produk sesuai dengan keinginan pelanggan.

Namun, keuntungan yang mereka peroleh selama ini tentu saja telah menghabiskan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, mencemari lingkungan sekitar dan merusak hutan. Demikian pula, bahwa pelanggan dipacu untuk terus menerus meningkatkan konsumtifitasnya tanpa dibekali pola pembelajaran yang positif.


Kini kita dihadapi dengan masalah yang serius, yaitu terjadinya perubahan lingkungan yang semakin lama semakin buruk. Beberapa puluh tahun yang lalu hal ini tidak kita sadari karena kita tidak berhadapan dengan masalah lingkungan yang kritis. Namun kini semua telah banyak berubah, bumi yang kita huni adalah tidak seperti dahulu kala kita bercengkrama dengan lingkungan sekitar yang asri dan aman. Produktifitas selalu dijadikan tameng untuk menutupi kenyataan lemahnya kemauan kita untuk melindungi alam sekitar. Pihak perusahaan khususnya para manajer memiliki posisi penting dalam menentukan nasib kehidupan manusia di masa depan.

Konsumen dan pelanggan tidak dapat dipersalahkan sebagai penyebab krisis lingkungan, jika kita melihat proses pemasaran, bahwa perusahaan melakukan berbagai upaya untuk men-stimuli (merangsang) orang-orang untuk mengkonsumsi produk yang mereka ciptakan. Jadi sangat tidak tepat bila dikatakan bahwa krisis lingkungan adalah ulah konsumtif masyarakat yang tinggi.

Karakteristik manajemen yang efektif adalah bagaimana para manajer baik di lini tengah dan puncak bersama-sama memikirkan visi dan misi perusahaan di masa ini untuk kebaikan dan keberlangsungan perusahaan di masa depan dengan memasukkan kebajikan organisasi tentang lingkungan.

Seharusnya perusahaan tidak terjerumus dalam Blindness of Imagination (kebutaan dalam imajinasi), perusahaan harus menyelamatkan lingkungan bukan karena desakan-desakan sosial saja. Bagaimanapun, krisis lingkungan yang akan dihadapi pada masa depan secara langsung akan mengancam kemampuan perusahaan dalam melaksanakan proses produksi serta pemasaran hasil produksi di masa depan.

Oleh karenanya, para manajer di lingkungan perusahaan harus mencari solusi atas proses-proses produksi dan pemasaran-nya dengan meminimalisasikan penggunaan sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui dan mengurangi resiko pencemaran lingkungan. selalu ada cara yang lebih baik dalam mencapai upaya-upaya itu bila para manajer memiliki kebajikan organinasi, artinya bahwa masalah lingkungan menjadi cakupan pemikiran manajemen masa depan dan menjadikannya sebagai keharusan yang tidak dapat ditunda.