Senin, 16 Juni 2008

MENGUBAH CARA PANDANG BISNIS

Perilaku manusia berubah-ubah setiap saat, dan ini terjadi sejak manusia pertama (Adam AS) diturunkan kemuka bumi beribu-ribu tahun silam. Perubahan itu sejalan dengan kebutuhan manusia yang menurut Maslow terdapat lima tingkatan (sebagian menyebutkan enam) pemenuhan kebutuhan manusia mulai dari pemenuhan kebutuhan yang paling rendah sampai dengan kebutuhan tertinggi.

Demikian pula kebutuhan-kebutuhan itu juga mengalami perkembangan yang sangat beragam termasuk cara pemenuhan kebutuhannya. Cara-cara pemenuhan kebutuhan ini sebagian besar merupakan suatu perilaku yang merupakan hasil temuan awal dan diturunkan kepada anak dan cucu atau lingkungan kerabat dekat mereka. Cara pemenuhan ini juga berawal dari proses pencarian dan adaptasi, oleh karenanya cara-cara pemenuhan kebutuhan selalu berubah dan berkembang setiap saat.

Customer oriented adalah strategi marketing yang berbasis kepada pelanggan. Perusahaan membuat dan menyalurkan produk didasarkan atas apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh pelanggan. Dalam perkembangan bisnis dengan ketatnya persaingan, justru perusahaan membuat (create) dan merangsang (supply) sebuah kebutuhan baru melalui pengimajinasian kebutuhan dengan alasan gaya hidup baru (trend) kepada pasar. Ini dapat kita lihat pada peragaan busana, pola ini menunjukkan bahwa konsumen dirangsang untuk membeli gaun berbahan dedaunan sekedar untuk mengekpresikan diri mereka dalam sebuah gaya hidup yang baru. Membeli gaun adalah memenuhi kebutuhan fisik yaitu sandang (penutup badan), namun produk yang diciptakan dapat memenuhi beberapa sifat kebutuhan lainnya seperti cinta, rasa aman, apresiasi diri, dan penghargaan.

Kesimpulannya bahwa konsumen atau pelanggan dapat didorong ke dalam suatu perubahan perilaku dan pandangan tertentu untuk membantuk suatu perilaku pembelian atau pemenuhan kebutuhan bahkan menjadikan mereka sebagai animal yang haus akan segalanya ketika mereka memiliki kemampuan membeli yang sangat tinggi. Terakhir adalah dengan memasukkan nilai-nilai dalam keputusan pembelian, dimana konsumen sadar bahwa mereka bukan-lah animal tetapi human yang menuntut kehidupan beraturan, tenggang rasa dan penuh toleransi.

Lingkungan bagian dari nilai-nilai kehidupan, lingkungan disini adalah dalam arti phisik bukan kiasan. Lingkungan berkaitan dengan kondisi asri, sehat dan aman atau juga masalah lingkungan karena ada hal-hal yang menyebabkan ketiganya tidak dapat dicapai seperti polusi, pemanasan global, kerusakan lingkungan, sampah krisis energi dan lain-lain. Kerusakan lingkungan dapat diakibatkan oleh dua faktor penyebab yaitu: faktor alamiah dan faktor kejahatan manusia terhadap lingkungan. karena manusia adalah sentra kehidupan alam semesta, maka bisa jadi kerusakan secara alamiah juga dipicu oleh ulah manusia.

Bisnis memainkan peran penting bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Jika kita ingin tetap dapat menikmati kehidupan saat ini (minimal), maka pola pandang bisnis harus berubah, dan seharusnya perubahan itu dimulai dari para pengelola bisnis dan para pemrakarsa bisnis. Mereka harus memulai mengubah pola pandang penciptaan produk dan penyuplaian produk pada aktifitas produksi dan operasional perusahaan. Mereka juga harus mulai mendorong perubahan pada pola pikir konsumen, yaitu pola pikir berbasis lingkungan.

Tanpa itu, dan tanpa perubahan pada pola pandang bisnis, maka kita akan mengsangsikan apakah nanti kita masih bisa menghirup udara dengan segar, atau membiarkan anak-anak kita aman bercanda ria dengan alam. Dan tanpa peran besar dunia usaha, maka era bisnis berbasis lingkungan akan sulit diwujudkan.

Minggu, 08 Juni 2008

Membangun ERA ORIENTASI LINGKUNGAN

Entah dari mana harus mulai, sama seperti membenahi benang kusut. Lingkungan yang kita tinggali saat ini juga seperti benang kusut yang harus segera dibenahi, jika tidak, akan tambah kusut. Pertanyaan yang hinggap dalam benak kita adalah dari mana kita harus mulai dan bagaimana memulainya.

Pemikiran saya tentang pentingnya kita membangun suatu era adalah untuk memberikan sebuah penekanan perubahan pola pikir masyarakat dan industri. Karena, kedua-duanya adalah penyumbang terbesar atas menurunnya kualitas lingkungan. Oleh karenanya, masyarakat dan industri harus melakukan tindakan yang significant terhadap berbagai upaya perbaikan kualitas lingkungan.

Era orientasi lingkungan adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh perusahaan, institusi, organisasi dan perorangan untuk memenuhi kebutuhan konsumen dengan dikembangkannya produk-produk berbasis lingkungan sejalan dengan perubahan pandangan masyarakat tentang cara pemenuhan kebutuhan yang lebih baik.

Pembuat dan pemakai merupakan bagian dari produktifitas yang tidak dapat dipisahkan, karena berhubungan dengan nilai ekonomis, efesiensi, efektifitas dan profitabilitas. Ini yang merupakan inti masalah mengapa industri tidak pernah mau belajar atas kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan terhadap lingkungan.

Kita semua yang peduli dengan masa depan kita akan selalu mengelus dada mendengar kejadian-kejadian perusakan dan atau proses penurunan kualitas lingkungan. Apa yang bisa kita lakukan, sementara kita tinggal begitu jauh dari lokasi kejadian, dan kita sadar bahwa kejadian itu bila dibiarkan justru akan mengancam kita dikemudian hari. Semua masalah lingkungan, mulai dari terancamnya habitat orang utan, lubang galian bekas penambangan, sampai dengan pencemaran air di sungai adalah masalah yang selalu hadir setiap saat. Kapan semua itu berhenti, adakah obat paling manjur untuk menyelesaikannya.

Ada dua tindakan yang segera kita lakukan yaitu; 1) Berhenti melakukan perusakan dan 2) Memperbaiki kerusakan. Tentu harus ada orang-orang yang memegang peranan penting disini, siapa yang menjadi pengawas, pembina, pelaku, pembantu, dan peserta. Dimanakah tempat Anda?

Menurut Weldegrave, W (1987), bahwa “Peran pemerintahlah yang menentukan standar dan perioritas. Dan, Industrilah yang mengembangkan teknologi untuk memenuhi serta meningkatkan standar ini. Dialog tidak perlu berlangsung terus, lingkungan tidak mendapatkan keuntungan apapun dari seruan penghentian semua polusi di semua tempat dengan segera ‘agar tidak terjadi sesuatu.’ Tetapi, industri juga perlu menyerukan tanda bahaya terlalu keras dan terlalu sering.” (Dalam Canon, 1995:215).

Sayangnya, semua orang bicara tentang lingkungan hanya berkutat pada mereka yang peduli pada lingkungan. Tidak pernah berpikir untuk melibatkan pelaku dalam penyelesaian berbagai kasus. Setiap perusahaan yang baru tumbuh atau ekspansi ke wilayah baru, seharusnya telah mempelajari dengan seksama bukan saja faktor-faktor ekonomi sebagai syarat utama mendirikan perusahaan, tetapi kemampuan mereka dalam mengatasi pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh operasional mereka.

Apakah dunia yang aman adalah kado terbaik untuk anak cucu kita yang paling mahal dan tak terbeli oleh kita?

Banyak sekali perusahaan yang produksi sebuah barang dengan memberikan pertimbangan secara matang atas akibat akhir dari penggunaan produk mereka oleh konsumen terhadap penurunan kualitas lingkungan. contohnya dalam penggunaan kemasan pada produk yang selalu diikuti oleh plastik, dapatkah mereka mencari alternatif packaging lain yang lebih baik, tidak saja memikirkan tampilan belaka. Atau bahan kimia lain yang dapat mencemari air, dapatkah mereka berpikir jauh sampai kesana?

Mungkin kesadaran mereka akan pentingnya kualitas lingkungan tidak cukup baik dan semuanya dapat dikalahkan oleh kepentingan ekonomi (pendapatan dan keuntungan). Dalam era bisnis berbasis lingkungan, bahwa seharusnya perusahaan lah yang menjadi agent of environment, karena mereka memiliki kekuatan financial yang memadai untuk melakukan banyak hal seperti; penelitian dan program-program kampanye penyadartahuan dan aktifitas perbaikan lingkungan lainnya.

Kesadaran adalah yang penting dalam membangun era bisnis berbasis lingkungan, dan peran setiap orang tanpa melihat latar belakang. Kemudian bagaimana membangun era ini? Harus ada usaha yang konkrit, setiap orang harus menjadi environment services dan sekaligus sebagai pelopor, sehingga ketakutan akan ancaman lingkungan terhadap kehidupan kita dikemudian hari dapat teratasi. Dan hal ini harus dilakukan dari sekarang juga.

Sabtu, 07 Juni 2008

ANTARA PEGAWAI NEGERI DAN LINGKUNGAN

Ketika pertama kali konsep otonomi daerah ini ditujukan untuk mempercepat pembangunan di daerah, karena pada saat pemerintahan Soeharto (Alm.) terjadi ketimpangan dalam pembangunan di daerah dengan di pusat. Daerah yang kaya akan sumber daya alam ternyata hanya daerah miskin yang hidup segan mati pun tak mau. Otonomi Daerah telah memberikan nafas bagi tiap-tiap daerah tingkat dua dalam berbenah diri dan mulai membangun daerahnya masing-masing termasuk diantaranya berjuang untuk memperoleh pendapatan yang besar dari kekayaan alam yang dimiliki daerahnya.

Lucunya dalam sebuah pembicaraan di warung kopi, seseorang mulai membandingkan profil pegawai negeri di daerah dengan pegawai swasta। Sebut saja Andi, ia mengatakan bahwa pegawai negeri itu adalah orang-orang buangan, tidak produktif, tidak memiliki kemampuan berkembang dan berkompetisi serta tidak professional. Kemudian pernyataan Andi itu disela oleh Rahmat yang juga adalah seorang pensiunan pegawai negeri, ia mengatakan dengan bangganya “itulah yang membedakan antara manajemen bisnis dengan manajemen pemerintahan” kesimpulannya adalah manajemen pemerintahan itu misinya adalah membiarkan pegawainya tidak produktif, tidak mampu berkembang, tidak mampu berkompetisi dan tidak membutuhkan professional, yang penting adalah diri sendiri?

Jika seorang anak ditanya kenapa kamu mau jadi pegawai negeri? Jawabannya adalah “Supaya bisa punya rumah gede, punya mobil karena punya jabatan” kemudian jika tidak bisa jadi pejabat maka jawabnya “yah, minimal masuk kerja baca Koran, kemudian mampir ke kantin, kalau ada bos pura-pura ngetik atau nulis, dan sudah tua dapat pensiun tiap bulan”

Wajar saja kalau Negara kita hidup morat-marit। Masa sih membangun Negara sebesar ini 50 tahun nggak beres-beres. Wajar saja kalau ide dan gagasan perbaikan lingkungan pada secarik kertas dari masyarakat kandas di kantin kantor kemudian hilang entah kemana. Wajar saja, kita nggak pernah bisa menyelesaikan kasus illegal lodging. Setiap kasus lingkungan bagaikan panas-panas tahi ayam.

Pemerintah daerah kota/kabupaten bertengkar dengan pemerintah propinsi hanya gara-gara pengelolaan tambang menjadi hak siapa. Mereka tidak pernah bertengkar masalah kenapa lingkungan menjadi rusak dan siapa yang harus memperbaikinya. Mungkin motif ekonomi adalah urusan nomor satu dalam Negara kita, dan masa depan nomor sekian.

Padahal pegawai negeri adalah harapan kita satu-satunya membangun negeri yang maju dan berwawasan lingkungan। Pegawai pemerintah seperti ini warisan siapa? Soekarno kah? Suharto kah? Gusdur kah? Megawati kah? Atau SBY-JK?

Menurut Weldegrave, W (1987), bahwa “Peran pemerintahlah yang menentukan standar dan perioritas। Dan, Industrilah yang mengembangkan teknologi untuk memenuhi serta meningkkan standar ini. Dialog tidak perlu berlangsung terus, lingkungan tidak mendapatkan keuntungan apapun dari seruan penghentian semua polusi di semua tempat dengan segera ‘agar tidak terjadi sesuatu.’ Tetapi, industri juga perlu menyerukan tanda bahaya terlalu keras dan terlalu sering.” (Dalam Canon, 1995:215).

Karena pemerintah kita tidak bisa di andal kan, maka perlu dari kita semua untuk melakukan sesuatu yang serius untuk memperbaiki kerusakan lingkungan। Kalangan LSM perlu terus mengedukasi masyarakat untuk melakukan aksi boikot terhadap produk-produk yang mengancam lingkungan dan mendidik mereka untuk melakukan sesuatu perilaku berbasis lingkungan. Para manajemen membuka mata dan pikiran mereka untuk memperbaharui produk-produk mereka serta cara-cara mereka mengelola sumber daya alam dengan baik dan aman bagi lingkungan disekitarnya.

Kalangan LSM perlu terus mengedukasi masyarakat untuk melakukan aksi boikot terhadap produk-produk yang mengancam lingkungan dan mendidik mereka untuk melakukan sesuatu perilaku berbasis lingkungan. Para manajemen membuka mata dan pikiran mereka untuk memperbaharui produk-produk mereka serta cara-cara mereka mengelola sumber daya alam dengan baik dan aman bagi lingkungan disekitarnya. Karena kita tidak mungkin berharap banyak dengan pemerintah menjadi agent of environment, jadi mesti kita lah yang menjadi agent-agent itu. Jika ini terjadi, maka era bisnis berbasis lingkungan dapat terwujud.