Senin, 28 April 2008

Era Orientasi Lingkungan: Corporate Social Responsibility dan Lingkungan

Era Orientasi Lingkungan: Corporate Social Responsibility dan Lingkungan

MENGUBAH PERILAKU BERAWAL DARI KELUARGA

Hal yang sangat melekat dalam ingatan saya, Rasulullah (Nabi Muhammad SAW) pernah mengajarkan kepada kita yang isinya kira-kira begini …dakwah itu dimulai dari lingkungan yang paling kecil, yaitu keluarga. Mengubah perilaku dari yang negatif ke positif juga bagian dari da’wah, saya tentu kepingin keluarga saya memiliki prinsip-prinsip hidup yang positif, termasuk hal positif mengenai perilaku saya dan anggota keluarga dalam masalah lingkungan.
Terkait dengan masalah lingkungan itu bukan kita peduli kepada lingkungan, tetapi kita peduli kepada diri kita. Peduli pada lingkungan itu berarti lingkungan itu bukan bagian dari diri kita, kita peduli pada lingkungan karena kondisinya yang krisis, kita iba dengan keadaannya, ini terlalu lemah. Sebaliknya, jika kita peduli dengan diri kita “ I Care Myself” menunjukkan perasaan yang kuat, kita melihat rusaknya lingkungan sekitar menunjukkan rusaknya diri kita, terancamnya masa depan kita – Jika “I Care Myself” maka kita akan merubah perilaku hidup.
Istri saya bercerita tentang acara Oprah yang ditontonnya mengenai pengabdian sebuah kehidupan dari seekor beruang kutub yang menggali kuburannya karena tidak menemukan Es akibat efek pemanasan global. Ini merupakan kisah tragis, mungkinkah kita juga akan melakukan hal yang sama yaitu menggali tumpukan sampah untuk kuburan kita sendiri karena tidak ada lagi tempat yang tersisa tanpa sampah?
Istri saya berencana untuk memulai kebiasaan baru, yaitu: 1) membawa tas kain saat ke Supermarket sebagai tempat untuk barang-barang yang dibeli, sehingga istri saya tidak memerlukan kantong plastik. 2) istri saya akan menggantikan kerajang sampah yang terbuat dari plastik dan menggantikannya dengan ember plastik sisa cat, untuk mengganti penggunaan kantong plastik. 3) istri saya mulai memilih produk deterjen yang ramah lingkungan (menggunakan biodetergen) beberapa diterjen yang saya ketahui menggunakan biodeterjen antara lain adalah Surf (Unilever), Rinso (Unilever) dan Attack (Kao). Masing-masing menyebutkan bahan aktif saat dikemas adalah sebagai berikut; Rinso 58%, Surf 40%, dan Attack 30%. Saya tidak mengerti dengan angka-angka ini, apakah Attack lebih baik dari Rinso atau sebaliknya? Jika pada rokok kita dapat melihat perbedaan kualitasnya dari berapa banyak Tar yang ada pada masing-masing rokok, semakin rendah Tar-nya maka semakin kecil daya merusak pada kesehatan.
Perlu banyak bantuan dari media massa untuk menjelaskan hal ini, jika memang Attack lebih baik dari Rinso, maka Unilever harus mengembangkan teknologi produknya agar lebih rendah dari Attack, atau sebaliknya jika bahan aktif yang dikemas itu seharusnya yang lebih tinggi adalah yang terbaik bagi lingkungan, maka Attack harus berjuang keras untuk mengungguli Rinso.
Saya sendiri menyukai minuman ringan (softdrink), ada yang berubah dari saya, kini saya tidak lagi membeli coca cola atau minuman isotonic lainnya dalam kemasan kaleng, maksud saya sih untuk mengurungi sampah kaleng. Seandainya Coca cola company mau membeli kaleng coca cola seharga 200 rupiah, tentu saya akan mengumpulkan kaleng kemasan coca cola untuk diberikan kepada coca cola bukan karena Rp. 200,- nya tapi karena upaya pengendalian limbah kalengnya.
Apakah anda memiliki perilaku baru yang positif untuk lingkungan, mohon komentarnya, terima kasih

Kamis, 24 April 2008

Corporate Social Responsibility dan Lingkungan

Bisnis adalah bagian dari sosial, karena bisnis melakukan hubungan-hubungan yang berarti (significant) dengan komunitas. Oleh karenanya, kita dapat melihat adanya hubungan pengaruh memengaruhi diantara keduanya. Saat ini, para manajer menyadari bahwa usaha yang mereka lakukan merupakan bagian dari aktifitas sosial, oleh karenanya di satu sisi perusahaan sangat bergantung pada kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Bisnis mereka bergantung pada prinsip dan keyakinan masyarakat sebagai penyuplai faktor-faktor produksi yang dibutuhkan dan sebagai calon pengguna dari barang-barang yang mereka produksi.

Program Corporate Social Responsibility (CSR) adalah upaya-upaya pendekatan yang dilakukan kepada masyarakat untuk memperkuat citra perusahaan di mata publik. Seperti dikatakan oleh Davis & Blomstrom bahwa “Another argument is that social responsibility improves the public image of business” (1975;25).

Tujuan bisnis mereka adalah untuk meningkatkan kualitas hidup bagi karyawan yang bekerja pada mereka. Melalui berbagai saluran media yang ada, mereka berusaha menginformasikan kepada konsumen bahwa produk mereka itu diciptakan untuk membantu konsumen meraih apa yang mereka inginkan (consumer expectation).

Tanggung jawab sosial perusahaan, kini tidak saja dihubungkan dengan masalah peningkatan kualitas sumber daya seperti tenaga kerja, atau sebuah upaya-upaya pemberdayaan masyarakat setempat (community), tetapi juga bagaimana meningkatkan kualitas lingkungan yang ada di sekitar mereka. Masyarakat menganggap bahwa peran serta perusahaan dalam memperbaiki kualitas hidup mereka dan lingkungan menunjukkan bahwa perusahaan itu juga bagian dari kehidupan komunitas mereka. Di Negara kita, masih banyak perusahaan yang dibangun di areal pemukiman penduduk namun tidak memiliki hubungan yang baik dengan masyarakat setempat. Sebagian besar dari mereka berpikir bahwa mereka tidak memiliki kepentingan dengan masyarakat sekitar sehingga tidak perlu melakukan kegiatan-kegiatan penting bagi masyarakat setempat. Akibatnya kini banyak dari perusahaan itu menghadapi masalah yang pelik dengan masyarakat sekitar, karena aktifitas produksi mereka itu telah mencemari lingkungan (udara, air dan tanah) termasuk polusi yang diakibatkan oleh kebisingan–suara mesin pabrik atau keluar masuk kendaraan proyek.

Bisnis memiliki peran yang luas dalam masyarakat. Oleh karena perusahaan tinggal dan hidup di sekitar masyarakat, menggunakan sumber daya yang ada di sekitar mereka dan memasarkan produk mereka ke seluruh dunia. Banyak perusahaan Amerika dan Eropa yang membuka pabrik di Indonesia karena tergiur oleh biaya tenaga kerja yang murah dan sumber daya lokal yang memadai. Di satu sisi keberadaan mereka diterima oleh masyarakat karena memberikan manfaat yaitu memperoleh sumber penghasilan baru, alih teknologi, dan pemanfaatan sumber daya alam setempat. Demikian pula pemerintah mendapat keuntungan dari pajak, restribusi dan pungutan tak resmi lainnya yang mereka keluarkan. Sedangkan di sisi lain, aktifitas mereka telah mencemarkan lingkungan termasuk limbah beracun yang mereka hasilkan.

“Indonesia belum mempunyai konsep tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan dunia usaha atau CSR, akibatnya pelaksanaan CSR diwujudkan sesuai dengan penafsiran setiap pemangku kepentingan (stakeholder) dalam bentuk seperti donasi, penyediaan beasiswa dan program pembangunan masyarakat” (Kompas, 26 Februari 2008). Menurut pendapat saya, sebenarnya CSR itu sifatnya harus bebas dan tidak ditentukan berapa besar perusahaan harus menyubang sekian persen dari keuntungan atau pendapatan yang kemudian diserahkan kepada pemerintah dan digunakan untuk memperbaiki kota atau daerah. Ini adalah cara yang kurang tepat, karena pemerintah daerah sebenarnya telah memperoleh apa yang menjadi haknya yaitu dari pungutan pajak dan retribusi. Dan, tugas pemerintah adalah menggunakan hasil pungutan pajak dan retribusi itu untuk membangun infrastruktur, fasilitas dan program-program yang dapat memberikan manfaat serta meningkatkan kesejahteraan bagi warganya.

Kaitannya dengan CSR, tugas pemerintah daerah dalam hal ini adalah bertugas mendorong dan mengawasi pelaksanaan program CSR masing-masing perusahaan. Sangat tidak tepat jika pemerintah menekan perusahaan-perusahaan untuk memberikan sumbangan pembangunan di Daerahnya. Seperti yang diberitakan oleh Kompas bulan Februari 2008, bahwa kepala Dinas Pendidikan di Kota Jakarta akan meminta perusahaan-perusahaan yang ada di wilayahnya untuk menyerahkan dana CSR dengan tujuan memperbaiki sekolah-sekolah, apakah pemikiran itu bisa diterima secara normatif? Jika yang dimaksud adalah melakukan aktifitas penggalangan dana untuk perbaikan sekolah dengan mengundang para pemimpin perusahaan, mungkin itu wajar dilakukan, karena Corporate Social Responsibility itu sifatnya sukarela, dan biarkan masyarakat yang menentukan apakah kegiatan-kegiatan CSR dapat meningkatkan hubungan baik diantara keduanya, yang terpenting CSR itu harus muncul dari institusi/perusahaan sebagai bentuk itikad baik. Jika kegiatan CSR itu dipaksakan atau bahkan ditentukan justru itu adalah sebuah perlakuan yang tidak normatif.

A favorable image is also important in a firm’s money market” (Davis & Blomstroms, 1975:26), jika kita merujuk pada pernyataan Davis dan Blomstroms itu, tentu alasan kuat bagi perusahaan dalam menjalankan program CSR tidak lain adalah untuk memeroleh citra yang positif dari masyarakat dan citra positif itu ada hubungannya dengan penguatan loyalitas pelanggan serta upaya perluasan sasaran pasar. Permasalahannya adalah sejauhmana konsumen dapat memahami tindakan yang dilakukan oleh perusahaan itu berkaitan dengan CSR. Sejauhmana pemahaman masyarakat tentang CSR, dan bagaimana mereka dapat memisahkan antara CSR dengan tanggungjawab terhadap Lingkungan.

Dengan melihat kondisi lingkungan sekarang dan pemahaman kita tentang CSR, saya masih meragukan apakah masalah lingkungan merupakan bagian dari program Corporate Social Responsibility? Argumentasi saya bahwa program lingkungan itu bukan bagian dari program CSR, karena program lingkungan itu sifatnya wajib untuk dilakukan, sama halnya dengan kewajiban mereka membayar pajak dan retribusi, sedangkan CSR tidak dapat dipaksakan. Masalah lingkungan harus dibayar dengan seberapa besar kerusakan lingkungan yang telah dilakukan perusahaan dengan mengembalikan kepada keadaan semula atau dengan kualitas yang hampir sama. Mungkin wilayah ini patut untuk diperdebatkan.

Kini, kita melihat begitu banyak interaksi-interaksi antara perusahaan dengan masyarakat dalam berbagai bentuk yang menguntungkan keduanya, sebut saja dengan yang dilakukan oleh Newmont di Nusa Tenggara Timur melalui aksi penanaman pohon, pembangunan sumber persediaan air bersih dan program lingkungan lainnya. Ini menunjukkan bahwa perusahaan telah merasa dirinya bagian dari masyarakat.

Bisnis juga mempunyai kehidupan bermasyarakat dan ikut menanggung beban atas apa yang dialami oleh masyarakat saat ini dan masa depan. Melalui program CSR beban masyarakat sedikitnya dapat terbantu. Perusahaan yang melakukan perbaikan fasilitas sekolah itu telah membantu murid-murid di sana belajar lebih baik dengan situasi serta peralatan belajar yang lebih berkualitas tentunya akan mendorong semangat belajar mengajar menjadi lebih baik. Seperti yang saya yakini bahwa salah satu kejenuhan dari para siswa belajar di sekolah itu dikarenakan oleh fasilitas yang tidak memadai, sehingga beberapa diantara mereka (siswa) terhalang untuk memenuhi penyaluran bakat mereka. Tidak semua siswa yang lulus dari SMA/SMP akan menjadi ahli fisika, matematika, biologi, atau ahli ekonomi dan lainnya, karena menjadi seorang seniman atau olah ragawan juga dapat membantu mereka mencapai kehidupan yang lebih baik.

Begitu juga program pembangunan sarana air bersih dan sanitasi yang diperuntukkan bagi masyarakat yang tinggal di lokasi sekitar perusahaan juga merupakan peran perusahaan dalam mengurangi beban masyarakat memperoleh air yang layak dikonsumsi. Untuk hasil perjuangan yang telah dilakukan perusahaan dalam program CSR itu sangat patut jika upaya-upaya itu dipromosikan kepada masyarakat luas. Perusahaan membutuhkan tidak saja sekedar pujian dan terima kasih dari apa yang telah mereka lakukan pada masyarkat itu, tetapi perusahaan itu juga berhak menjadikan upaya-upaya yang dilakukannya sebagai momen yang tepat untuk menarik perhatian sasaran pasar di seluruh dunia dan menaruh kepercayaan serta sikap positif bagi produk-produknya.

Kesimpulan:
Kita perlu sama-sama sepakat bahwa Program perbaikan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan bukan bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR), tetapi suatu kewajiban yang harus dilakukan, perusahaan akan mengeluarkan beban biaya yang besar itu sebesar kerusakan lingkungan yang mereka hasilkan.

Bagaimana pendapat Anda?

Rabu, 23 April 2008

Kebajikan dalam Bisnis (the Virtue in Business)

Kebajikan dalam Bisnis

Paul Hawken dalam bukunya The Ecology of Commerce A Declaration of Sustainability mengatakan bahwa setiap tindakan komersial, setiap persetujuan atau transaksi bisnis, membantu merusak lingkungan, dan Hawken percaya bahwa kita harus berpikir mengenai bisnis dengan cara yang berbeda. Dia berpikir bahwa tindakan bisnis setiap hari harus dibuat untuk membantu melestarikan lingkungan, tetapi ini tidak terjadi bersamaan dengan pemikiran ekonomi yang kita miliki saat ini. (dalam Stoner, Freeman & Gilbert, 1995:103).

Kebajikan dalam bisnis (the virtue in business), terlepas dari tujuan utama bisnis untuk mencapai laba maksimal bagi organisasinya, sebuah perusahaan perlu mengembangkan sebuah misi kepedulian terhadap lingkungan. Organisasi harus sangat hati-hati mengembangkan sebuah produk yang mampu memberikan kebajikan-kebajikan terhadap lingkungan dengan mencari alternatif teknologi dalam menciptakan kemasan produk yang ramah lingkungan, penghematan energi, dan menciptakan produk yang dapat di daur ulang semaksimal mungkin. Cara-cara ini yang saya maksud dengan kebajikan dalam bisnis.

Seperti dikatakan oleh Straub & Attner (1994) yang menyebutkan ada beberapa kecenderungan dan peluang bagi usaha yaitu melakukan perlindungan bagi lingkungan (Environment Protection), mereka mengatakan “the public’s concern for protecting and preserving the environment is now a major business issue. The company will have to make environmental considerations a part of strategic decision making – not because it is a law or some group wants it, but becauste it is the right thing to do.” (1994:22).

Menarik sekali apabila muncul pertanyaan bagaimana sebuah pasar itu didorong oleh upaya-upaya pemasaran menjadi sesuatu yang heterogenitas, begitu pula tentang naik-turunnya peemintaan dalam pasar telah menyebabkan sesuatu industri mengalami atau melewati siklus sejarah pertumbuhan (growth), kedewasaan (maturity), dan kemunduran (decay) dan kematian (death). Sebelumnya industri didorong untuk melakukan produksi sebanyak mungkin yang mereka dapat lakukan, sehingga kondisi ini menggambarkan perusahaan itu dikategorikan sebagai perusahaan yang berfokus pada produk atau istilahnya beroirentasi pada produk (Product Oriented).

Sejak Levitt menyodorkan konsep Marketing Myopia (rabun dekat pemasaran) pada tahun 1960, telah mengubah kosep dan pemikiran manajemen tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk menghindari myopia itu. Perusahaan berlomba-lomba melakukan riset kepada konsumen dan pelanggan mereka, alhasil mereka menikmati sejumlah keuntungan baru, yaitu selamat dari persaingan pasar yang sangat ketat.

Para perusahaan yang berbasis pada konsumen kini menikmati hasil yang menggembirakan, produk mereka selalu dekat dengan pelanggan, mereka menempati posisi yang nyaman dalam pasar. Dan, mereka selalu melakukan riset dengan pelanggan serta mereka melakukan innovasi pada produk sesuai dengan keinginan pelanggan.

Namun, keuntungan yang mereka peroleh selama ini tentu saja telah menghabiskan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, mencemari lingkungan sekitar dan merusak hutan. Demikian pula, bahwa pelanggan dipacu untuk terus menerus meningkatkan konsumtifitasnya tanpa dibekali pola pembelajaran yang positif.


Kini kita dihadapi dengan masalah yang serius, yaitu terjadinya perubahan lingkungan yang semakin lama semakin buruk. Beberapa puluh tahun yang lalu hal ini tidak kita sadari karena kita tidak berhadapan dengan masalah lingkungan yang kritis. Namun kini semua telah banyak berubah, bumi yang kita huni adalah tidak seperti dahulu kala kita bercengkrama dengan lingkungan sekitar yang asri dan aman. Produktifitas selalu dijadikan tameng untuk menutupi kenyataan lemahnya kemauan kita untuk melindungi alam sekitar. Pihak perusahaan khususnya para manajer memiliki posisi penting dalam menentukan nasib kehidupan manusia di masa depan.

Konsumen dan pelanggan tidak dapat dipersalahkan sebagai penyebab krisis lingkungan, jika kita melihat proses pemasaran, bahwa perusahaan melakukan berbagai upaya untuk men-stimuli (merangsang) orang-orang untuk mengkonsumsi produk yang mereka ciptakan. Jadi sangat tidak tepat bila dikatakan bahwa krisis lingkungan adalah ulah konsumtif masyarakat yang tinggi.

Karakteristik manajemen yang efektif adalah bagaimana para manajer baik di lini tengah dan puncak bersama-sama memikirkan visi dan misi perusahaan di masa ini untuk kebaikan dan keberlangsungan perusahaan di masa depan dengan memasukkan kebajikan organisasi tentang lingkungan.

Seharusnya perusahaan tidak terjerumus dalam Blindness of Imagination (kebutaan dalam imajinasi), perusahaan harus menyelamatkan lingkungan bukan karena desakan-desakan sosial saja. Bagaimanapun, krisis lingkungan yang akan dihadapi pada masa depan secara langsung akan mengancam kemampuan perusahaan dalam melaksanakan proses produksi serta pemasaran hasil produksi di masa depan.

Oleh karenanya, para manajer di lingkungan perusahaan harus mencari solusi atas proses-proses produksi dan pemasaran-nya dengan meminimalisasikan penggunaan sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui dan mengurangi resiko pencemaran lingkungan. selalu ada cara yang lebih baik dalam mencapai upaya-upaya itu bila para manajer memiliki kebajikan organinasi, artinya bahwa masalah lingkungan menjadi cakupan pemikiran manajemen masa depan dan menjadikannya sebagai keharusan yang tidak dapat ditunda.

Selasa, 15 April 2008

Mari kita mulai era bisnis berorientasi lingkungan

Kita semua tentunya menyadari bahwa ‘teknologi’ dan ‘ekonomi’ selalu berjalan beriringan diantara hubungan manusia dengan alam. Namun kenyataannya kita melihat hal yang jauh berbeda, dengan semakin bertambahnya jumlah manusia di bumi, hubungan antara teknologi dan ekonomi yang berperan penting bagi masa depan manusia juga mengancam bumi yang kita tempati. Mungkin akan kita temui banyak hal yang baik – yang kita pandang sebagai sebuah hasil, mungkin saja akan timbul masalah yang mengganggu bahkan mengancam jika hubungan itu justru menyebabkan kehancuran bagi keduanya. Ini terjadi karena kita tidak memandang arti penting kehidupan yaitu hubungan antara manusia dengan alam.
Teknologi dan ekonomi seharusnya berjalan secara harmonis diantara manusia sebagai khalifah (pemimpin) dan lingkungan (bumi beserta isinya). Dengan semakin besarnya populasi manusia, seharusnya hubungan seperti itu menjadi hal yang penting untuk dijaga bagi masa depan manusia dan bumi. Banyak hal positif untuk di-imajinasi-kan, namun mungkin faktor keserakahan juga menjadi penghalang keinginan baik, seperti perilaku konsumtif tinggi juga merupakan hasil dorongan-dorongan penjualan produk melalui promosi dan iklan yang dilakukan oleh produsen itu telah memberikan efek yang tinggi dari proses dan penggunaan barang itu.
Beberapa penggunaan atau peng-konsumsi-an produk serta proses produksinya telah memberikan efek yang tinggi terhadap apa yang kini kita sebut dengan pemanasan global (global warming), atau tindakan itu telah mencemari lingkungan sehingga kualitas kesehatan lingkungan semakin rendah. Lihat saja tingkat kekeruhan sungai yang tinggi di kota-kota kita di tanah air yang tidak lain disebabkan oleh erosi saja tetapi juga tumpukan sampah yang dibuang ke sungai, limbah beracun dari industri, dan limbah rumah tangga.
Dengan melihat kondisi lingkungan seperti ini mungkin muncul sebuah pertanyaan serius, apakah keterlibatan bisnis sangat besar terhadap penurunan kualitas lingkungan? Mungkinkah bisnis bertanggung jawab atas semua kerusakan yang terjadi. Perlu argumentasi yang kuat untuk menentukan dimana posisi bisnis seharusnya dan bagaimana hubungannya dengan lingkungan. Apa tanggung jawab perusahaan ini bagi diri mereka sendiri?
Bagi masyarakat, keberadaan perusahaan adalah sebagai tempat mereka untuk menghasilkan uang yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarga. Sedangkan bagi perusahaan, tenaga dan loyalitas mereka dibutuhkan untuk menggerakkan modal dan menghasilkan keuntungan yang dapat dinikmati bersama – walaupun kita tahu bahwa tidak ada perusahaan di dunia ini bersifat koperasi (memberikan keuntungan yang sama bagi anggotanya). Apakah kita perlu menghentikan produktifitas untuk mempertahankan bumi kita?

Peranan bisnis dan masalah lingkungan sekitar
Banyak sekali masalah lingkungan yang kita hadapi, mulai dari perilaku masyarakat yang buruk dengan membuang sampah sembarang tempat, polusi udara dan air yang tidak terkendalikan. Kita mencoba menuntaskan masalah-masalah ini secara perlahan, namun kerusakan selalu lebih cepat dari upaya penyelamatan lingkungan yang kita lakukan. Sebagian ekonom berharap bahwa perbaikan lingkungan dapat diselesaikan melalui program corporate social responsibility. Namun, tujuan utama untuk memperpanjang nilai ekonomi pun tidak tercapai karena berbagai tindakan yang kita lakukan dengan tujuan untuk mencapai produktifitas itu justru telah menghancurkan rencana produktifitas di masa depan.
Para pebisnis saat ini mulai menyadari arti penting dari sebuah kepedulian kepada lingkungan. Saya tidak bangga jika Anda mengatakan bahwa Anda peduli dengan lingkungan, karena sikap Anda tidak akan memberikan efek yang besar terhadap upaya perbaikan lingkungan. “Peduli hanya sebuah pengaruh, tapi kita membutuhkan lebih dari sebuah usaha untuk merubah planet kita ”.
Teknologi selalu beriringan dengan perubahan perilaku manusia, hubungan keduanya sangat erat. Teknologi baru telah mengubah perilaku masyarakat, dan perubahan perilaku masyarakat dapat menghasilkan teknologi baru. Demikian pula bahwa perubahan perilaku masyarakat dimulai dari perubahan individu yang mewabah. Perubahan pada individu primer terjadi oleh tumbuhnya sebuah kesadaran diri sebagai hasil dari sebuah pengalaman atau informasi yang didapat.
Kondisi lingkungan yang menurun, ancaman global warming dan krisis energi akhir-akhir ini semakin kuat memengaruhi kesadaran banyak orang. Hal ini dapat ditangkap oleh beberapa perusahaan untuk melakukan berbagai inovasi dan pengembangan teknologi yang dapat menempatkan mereka pada posisi yang aman dalam persaingan. Beberapa perusahaan itu telah melakukannya sejak lama, beberapa diantaranya baru akan memulai, tetapi masih banyak perusahaan yang tidak siap dengan perubahan ini. Biasanya mereka akan menghadapi situasi yang buruk karena banyak orang mulai memperhatikan masalah lingkungan lebih serius.
Perusahaan atau organisasi diharapkan dapat menjadi agent of environment dengan melakukan fungsi sebagai pengelola sumber daya alam yang berbasis pada lingkungan. Demikian, perusahaan yang melakukan upaya seperti ini memiliki peluang untuk memenangkan kompetisi saat ini dan masa depan.
Environment Base Oriented adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen dengan dikembangkan produk berbasis lingkungan sejalan dengan perubahan pandangan masyarakat tentang cara pemenuhan kebutuhan yang lebih baik.
Ini adalah sebuah konsep dimana perusahaan seharusnya mengelola kepuasan pelanggan yang didukung oleh pengembangan teknologi yang berwawasan lingkungan. Tidak hanya itu, perusahaan selain mengembangkan produk yang ramah lingkungan juga melakukan kegiatan-kegiatan yang berusaha untuk meminimalisasi dampak lingkungan. Dan, perusahaan yang melakukan cara-cara seperti itu biasanya telah memiliki prinsip-prinsip yang telah tercantum dalam spirit of organization atau budaya perusahaan yang mencerminkan seluruh perilaku individu perusahaan serta kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya.
Beranikah kita memulai ini semua, tentunya ada banyak konsekuensi yang akan kita hadapi. Terutama bagaimana cara mengubah perilaku kita, dan kepekaan kita terhadap lingkungan semakin tinggi. Melalui efek berantai adalah cara yang tepat kita gunakan untuk menyadarkan setiap orang, dan mengajak mereka untuk peduli dengan dirinya. Kepedulian dengan dirinya artinya dia harus segera melakukan tindakan penyelamatan lingkungan mulai dari perilaku yang paling kecil seperti meminimalisasi penggunaan kantong plastic misalnya.